Tuesday . 09 November . 2024
thumb image

Jerman, Polandia, dan Swedia masing-masing menyatakan diplomat Rusia di negaranya berstatus “persona non grata” atau tidak diinginkan berada di negara itu sejak Senin (8/2/2021).

Pernyataan tersebut membalas keputusan Moskwa pekan lalu, untuk mengeluarkan diplomat dari tiga negara Uni Eropa (UE), terkait kasus pemimpin oposisi Alexei Navalny.

Rusia menuduh diplomat dari Swedia, Polandia, dan Jerman menghadiri demonstrasi untuk mendukung Navalny, musuh politik paling terkemuka Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Kami telah memberi tahu Duta Besar Rusia bahwa seseorang dari kedutaan Rusia diminta untuk meninggalkan Swedia,” tulis Menteri Luar Negeri Swedia Ann Linde di Twitter mengutip AP pada Selasa (9/2/2021).

“Ini adalah tanggapan yang jelas atas keputusan yang tidak dapat diterima untuk mengusir seorang diplomat Swedia yang hanya melakukan tugasnya sebelumnya.”

Kementerian Luar Negeri Jerman menyatakan keputusan Rusia mengusir diplomat Eropa, tidak dibenarkan dengan cara apa pun.

Mereka bersikeras staf Kedutaan Besar Jerman telah bertindak sesuai haknya di bawah Konvensi Wina, tentang Hubungan Diplomatik, untuk mengetahui perkembangan di lokasi demonstrasi.

Keputusan itu diambil dalam koordinasi erat dengan Polandia, Swedia dan layanan diplomatik UE.

Sementara dalam kicauan di Twitter, Kementerian Luar Negeri Polandia menulis “sesuai dengan prinsip timbal balik, mereka menganggap diplomat Rusia yang bekerja di Konsulat Jenderal di Poznan sebagai persona non grata.”

Dalam sebuah pernyataan, anggota parlemen UE juga mengimbau “semua negara anggota UE menunjukkan solidaritas maksimum terhadap Jerman, Polandia dan Swedia.”

UE meminta anggotanya mengambil semua langkah yang tepat untuk menunjukkan kekompakan dan “kekuatan persatuan” blok kawasan tersebut.

Para anggota parlemen menyerukan strategi baru untuk hubungan UE dengan Rusia. Yaitu berpusat pada dukungan bagi masyarakat sipil, yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, kebebasan fundamental dan hak asasi manusia.

Pengusiran itu terjadi ketika para pejabat UE tengah meninjau ulang masa depan hubungan bermasalah blok 27 negara itu dengan Moskwa.

Ada keprihatinan mendalam di UE bahwa tetangga besar mereka di timur, melihat demokrasi sebagai ancaman dan ingin menjauhkan diri dari UE.

Keputusan Moskow pada Jumat (5/2/2021), menjadi tamparan ekstra bagi orang-orang Eropa. Pasalnya itu terjadi ketika diplomat utama blok tersebut, Kepala Kebijakan Luar Negeri Josep Borrell, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.

Borrell mengatakan dia mengetahui tentang pengusiran di media sosial.

“Pesan yang dikirim oleh otoritas Rusia selama kunjungan ini mengonfirmasi bahwa Eropa dan Rusia sedang terpisah,” tulis Borrell dalam sebuah blog saat kembali ke Brussel.

“Tampaknya Rusia semakin memisahkan diri dari Eropa dan memandang nilai-nilai demokrasi sebagai ancaman eksistensial.”

Dia mengatakan perjalanan itu memberinya keprihatinan yang mendalam atas perspektif perkembangan masyarakat Rusia dan pilihan geostrategis Rusia. Dia minta agar pengusiran dibatalkan.

“Namun tampaknya, Kremlin tidak ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki dialog yang lebih konstruktif.” ujarnya.

Beberapa anggota parlemen Uni Eropa mengkritik Borrell karena pergi, atau karena tidak bersikeras mengunjungi Navalny.

Pimpinan oposisi Putin itu ditangkap pada Januari, ketika dia kembali ke Moskow setelah menghabiskan berbulan-bulan di Jerman. Di sana Navalny memulihkan diri dari keracunan di Rusia, dengan apa yang menurut para ahli adalah zat saraf era Soviet, Novichok.

Pada 2 Februari, pengadilan Moskow memerintahkan Navalny untuk dipenjara selama lebih dari 2,5 tahun. Dia dituduh melanggar ketentuan masa percobaannya selama di Jerman.

Borrell mencoba mengatur pertemuan penjara melalui Lavrov, tetapi diberitahu untuk membawanya ke pengadilan.

“Jika Anda mengetahui prosedur pengadilan di Rusia, Anda akan tahu bahwa itu akan memakan waktu lebih lama daripada durasi kunjungan,” kata juru bicara Borrell, Peter Stano, Senin (8/2/2021).

Pada akhirnya, perjalanan itu tidak pernah secara khusus menyoroti masalah Navalny.

Rusia adalah mitra dagang utama dan UE bergantung padanya untuk gas alam. “Negeri Beruang Putih” juga memegang peran kunci dalam pembicaraan untuk mengekang ambisi nuklir Iran. Termasuk memiliki peran sentral dalam konflik yang berdampak pada kepentingan Eropa, seperti yang terjadi di Suriah dan Ukraina.

Tujuan Borrell adalah untuk “menyampaikan pesan tegas” tentang keadaan hubungan UE-Rusia secara luas, serta tentang pemenjaraan Navalny, kata Stano.

Menteri luar negeri Uni Eropa akan memperdebatkan masalah ini pada 22 Februari, sebagai persiapan bagi para pemimpin blok itu untuk mempertimbangkan strategi Eropa-Rusia pada pertemuan puncak pada 25-26 Maret.

Tetapi tantangan sebenarnya adalah mengatasi perpecahan besar antar negara tentang bagaimana mendekati Rusia.

Jerman, anggota sentral Uni Eropa, memiliki kepentingan ekonomi yang kuat di Rusia. Terutama karena proyek pipa bawah laut NordStream 2.

Jerman serta duta besar lainnya enggan untuk dengan cepat terlibat dalam pertempuran sanksi atas Navalny. Meskipun ada seruan untuk tindakan hukuman semacam itu. Terutama di antara beberapa tetangga dekat Rusia namun “anggota kecil” di Uni Eropa, seperti Lithuania.

Borrell mengatakan sampai Jumat (5/2/2021), tidak ada negara yang secara resmi mengajukan proposal tentang siapa atau organisasi apa yang akan terkena sanksi dari UE.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.