Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menggelar demonstrasi dalam rangka peringatan lima tahun tragedi genosida di Myanmar yang membuat mereka kabur.
“Hari ini kami berdemo kala militer Burma [Myanmar] membunuh warga kami dalam genosida. Mereka membunuh suami saya dan yang lainnya, militer memperkosa kami, kemudian membunuh anak-anak kami,” kata salah satu pedemo, Jamalida Begum, seperti dikutip Reuters.
“Selama lima tahun terakhir, kami menyampaikan informasi yang sama kepada dunia. Namun, tidak ada yang mendengarkan kami. Hari ini, kami berdemo untuk mengatakan kepada dunia kami ingin keadilan.”
Pemimpin komunitas Rohingya di Bangladesh, Mohammad Jobaer, mengatakan ia ingin kembali ke Myanmar. Namun, ia juga ingin haknya sebagai warga negara dijamin.
“Kami ingin kembali ke tanah kami dengan semua hak kami, pun di bawah pengawasan langsung dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami ingin keamanan atas hidup dan kekayaan kami di sana,” tuturJobaer.
Lebih dari satu juta Rohingya mengungsi di kamp wilayah selatan Bangladesh. Namun, peluang mereka bisa kembali ke Myanmar sangat kecil.
Di Myanmar, rezim sudah berpindah tangan ke militer, yang dikenal lebih keji dari pemerintahan sipil.
Saat Myanmar di tangan kepemimpinan sipil saja, penganiayaan terhadap Rohingya terus terjadi. Mereka tak pernah diakui sebagai warga negara dan kerap disiksa.
Puncaknya lima tahun lalu, para warga Rohingya kabur untuk menghindari persekusi, kebanyakan dari mereka menerobos ke Bangladesh.
Dalam lima tahun peringatan bentrok tersebut, pengungsi dari beberapa generasi membawa poster dan meneriakkan berbagai keluhan.
Kebanyakan dari mereka menggunakan pita hitam untuk merayakan “Peringatan Genosida Rohingya.”
“Tidak ada lagi kehidupan pengungsi,” demikian tulisan di poster pedemo.
“Cukup. Kami menginginkan kewarganegaraan, kami ingin keadilan. Kami adalah warga Burma, kami adalah Rohingya,” bunyi poster lainnya.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh menyatakan bahwa tidak ada satu pun Rohingya yang kembali ke Myanmar karena “sikap tak berkomitmen” pemerintah Naypyidaw.
Sikap ini bertolak belakang dengan janji pemerintah Myanmar sebelumnya untuk merepatriasi para Rohingya.
“Memastikan pertanggungjawaban pelaku kejahatan membutuhkan dukungan untuk memberikan kepercayaan pada Rohingya akan repatriasi,” demikian pernyataan badan itu.
Namun, banyak Rohingya juga tak mau kembali ke Myanmar, di mana mereka kerap menjadi korban pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pelanggaran hak asasi manusia sistematis.
“Dua pertiga dari anak-anak yang disurvei, hampir semua orang tua dan pengasuh [87 persen] mengatakan mereka tetap merasa tidak aman saat ini, ketimbang kala mereka tiba [di Bangladesh],” demikian pernyataan Save the Children.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengakui bahwa kondisi di Myanmar saat ini masih belum tempat untuk repatriasi.
Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.
Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …
Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.
- News
- Mobile
- Tablet
- Gadgets
- Camera
- Design
- More
-
- Widget Haeder
- Awesome Features
- Clean Interface
- Available Possibilities
- Responsive Design
- Pixel Perfect Graphics
- Widget Haeder
- Awesome Features
- Clean Interface
- Available Possibilities
- Responsive Design
- Pixel Perfect Graphics
-