Pembuangan hasil limbah tambang terus terjadi dan bertambah. Penanggulangan sudah dilakukan, tetapi satu kesalahan dapat menimbulkan masalah berkepanjangan, seperti yang terjadi oleh PT. Freeport Indonesia. Tidak ada pihak lain yang bisa disalahkan, sehingga kerjasama menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikannya.
Latar Belakang PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia atau yang bisa disebut sebagai PTFI merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-Mc MoRan Copper dan Gold Inc, serta PT. Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan (Inalum). Kinerja yang diberikannya adalah memproses, menambang, dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung emas, perak, maupun tembaga.
Operasi dari perusahaan ini terus dilakukan dari lokasinya yang berada di kawasan dataran tinggi Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia juga bertugas untuk memasarkan konsentrat yang mengandung emas, tembaga, hingga perak ke seluruh penjuru dunia.
Pada tanggal 21 November 2018, PTFI berhasil dikuasai oleh Indonesia dan menjadi pembayar pajak terbesar. Produksi emasnya pun dapat terbilang mendominasi di dunia melalui tambang Grasberg, hingga sudah dua kali eksplorasi ke Papua dilakukan.
Jadi, perusahaan tersebut menerima 49 persen saham dari Freeport McMoran, sementara pemegang saham mayoritas berasal dari Holding Industri Pertambangan Indonesia (MIND ID). Sebenarnya, PT. Freeport Indonesia menjadi pusatnya keunggulan ekonomi karena merupakan satu-satunya perusahaan yang melakukan penambangan di Papua.
Hal yang pasti adalah PT. Freeport Indonesia bukanlah milik Indonesia, tetapi milik pemegang saham PTFI. Tanah yang dikelola dikontrak-kelola oleh PTFI memang milik Indonesia dan tidak mungkin akan dibeli oleh Indonesia. Indonesia memiliki sumber daya alam dan PPTI mempunyai sumber daya alam dan modal.
Kedua unsur yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dapat disatukan untuk menghasilkan kemakmuran. Lantas, mengapa tidak kita miliki PATI secara sekaligus saja karena tanah juga milik Indonesia? Dengan begitu, Indonesia bisa menikmati kemakmuran tersendiri.
Sepintas, memang solusi win-lose ini akan membawa keberhasilan. Namun, solusi tersebut bisa berubah menjadi lose-lose karena Freeport McMoran akan menderita kerugian yang cukup besar sebab aset mereka lenyap begitu saja. Mereka juga tidak akan menerima solusi yang ada secara gamblang.
Pemerintah RI sudah mengusahakan yang terbaik melalui 51% saham, sehingga Indonesia bisa ikut mengontrol manajemen. Di samping keuntungan yang telah diperhitungkan dan diperoleh, ternyata PATI membawa kerugian untuk lingkungan. Pemerintah juga perlu mengeluarkan banyak dana untuk menguasai 51% saham tersebut.
Dampak Limbah dari PTFI
Kita harus ikut mengatasi dan merasakan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah tambang alias tailing karena tidak dikelola dengan baik. Tailing merupakan sejenis limbah yang tertinggal di air dan didapatkan dari pengolahan bijih di pabrik.
Nilai kerugian lingkungan mencapai Rp 185 triliun yang juga disebabkan karena tidak layaknya penampungan limbah di Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua. Pelanggaran serius juga terjadi, di mana area penampungan tailing yang seharusnya sudah dibatasi pada 230 kilometer persegi di wilayah hulu, tetapi justru merembes sampai ke muara sungai.
Seharusnya, pemerintah sudah menyelesaikan urusan tersebut saat tambang emas masih berada di bawah kendali Freeport-McMoran. Perusahaan ini bisa mendapatkan sanksi berat karena masalah yang tidak kunjung dibersihkan selama bertahun-tahun akan menjadi risiko lingkungan dengan harga mahal.
Saat bernegosiasi terkait pengambilalihan Freeport, pemerintah kurang lihai dalam menggunakan isu lingkungan sebagai senjata untuk menekan harga pembelian saham. Ternyata, Freeport juga telah membuang limbah ke area hulu sungai Ajkwa sejak tahun 1995, apalagi kapasitas produksinya terhitung 300 ribu ton.
Dari kapasitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan setiap harinya adalah 230 ton. Maklum, dari seluruh tanah yang digunakan oleh perusahaan, ternyata hanya 3% saja yang mengandung mineral. Sisanya sebagian besar akan dibuang dan menyebabkan pencemaran air, bahkan kebun sagu.
Masyarakat di sekitar daerah tersebut tentu sangat merasakan dampaknya dan terisolasi. Namun, Freeport memperlihatkan niat untuk memperbaiki dan tanggung jawabnya melalui uang yang dibagi-bagikan saat kerohiman dengan jumlah Rp85 miliar per tahun.
Pemerintah kini harus siap menanggung segala konsekuensinya dengan membuktikan bahwa perusahaan dapat mengelola limbah dengan baik. Kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa mendatang, tentunya harus dicegah.
Usaha Pemerintah Dalam Mengatasi Limbah Hasil Penambangan
Usaha yang perlu segera direalisasikan adalah mengurangi sedimen non-tailing di area tambang, serta mendukung pembangunan tanggul baru di bendungan. Upaya ini dilakukan supaya tailing tidak merembes terlalu jauh.
Dari segi lingkungan, opsi tersebut mungkin masuk akal. Namun, pemerintah juga harus memperhitungkan sisi ekonomi lainnya. Jika produksi Freeport menurun, tentu saja pemasukan negara juga akan ikut turun drastis, apalagi pemerintah harus mampu membuktikan bahwa investasi pembelian saham PT. Freeport Indonesia harus segera kembali.
Sampai saat ini, limbah tailing pun telah dikembangkan supaya memiliki nilai tambah. Setelah dibuktikan dapat dimanfaatkan sebagai material agregat infrastruktur publik, sudah ada sejumlah investor dari luar negeri yang berminat untuk memgembangkanya.
Freeport Indonesia mengupayakan daur ulang tailing sebagai bahan campuran beton dalam pembangunan prasarana lokal. Upaya tersebut juga dijalankan bersama pemerintah provinsi Papua dan Kabupaten Mimika untuk memanfaatkan tailing sebagai bahan utama dalam membangun infrastruktur.
Pemerintah harus menyelesaikan itu semua, tanpa menyalahkan pihak lain. Tragedi yang menyebabkan pencemaran lingkungan ini sudah dipastikan oleh pemerintah untuk tidak terjadi lagi. Kita sebagai salah satu orang yang bisa mendukung upaya tersebut dapat mengingat bahwa merawat lingkungan hari ini untuk kehidupan yang lebih baik esok hari.
Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.
Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …
Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.
- News
- Mobile
- Tablet
- Gadgets
- Camera
- Design
- More
-
- Widget Haeder
- Awesome Features
- Clean Interface
- Available Possibilities
- Responsive Design
- Pixel Perfect Graphics
- Widget Haeder
- Awesome Features
- Clean Interface
- Available Possibilities
- Responsive Design
- Pixel Perfect Graphics
-