Thursday . 09 August . 2024
thumb image

Undang-Undang Non-Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur hukum kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal 14(1) UU TPKS menyebutkan tiga jenis perilaku yang termasuk dalam tindak kekerasan seksual elektronik, yaitu mengambil dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bersifat seksual secara eksplisit di luar kehendak atau tanpa persetujuan dari orang yang didakwa. objek rekaman atau gambar atau tangkapan layar.

Kedua, transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan muatan seksual yang bertentangan dengan kehendak penerima, yang ditujukan terhadap hasrat seksual. Ketiga, menguntit dan/atau melacak menggunakan sistem elektronik terhadap orang-orang yang menjadi objek informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

“Dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta,” sebagaimana dikutip dari undang-undang TPKS mengenai hukum kekerasan seksesual.

Jika tindakan di atas dilakukan dengan maksud untuk memeras atau mengancam, memaksa atau menyesatkan dan menipu seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, hukumannya dapat ditingkatkan.

Ayat 3 menyebutkan bahwa kekerasan seksual berbasis perangkat elektronik merupakan tindak pidana kecuali korbannya adalah anak atau penyandang disabilitas. Apabila pengumpulan dan pengiriman informasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan untuk kepentingan umum atau untuk membela diri TPKS, tidak dipidana. “Dalam hal korban kekerasan seksual elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b adalah anak atau penyandang disabilitas, kehendak atau persetujuan korban tidak menghilangkan tuntutan pidana,” bunyi peraturan tersebut.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, draf peraturan pelaksanaan itu berlaku segera setelah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan untuk hukum kekerasan seksual.

“Mengingat undang-undang ini sangat komprehensif, prioritas kami adalah mengembangkan peraturan pelaksana. Setelah menyusun rancangan peraturan pelaksana, kami akan segera sosialisasikan kepada masyarakat berkoordinasi dengan kementerian terkait dan lembaga pemerintah non kementerian serta pemerintah daerah,” kata I Gusti Ayu.

Lebih lanjut dikatakannya, “Tujuannya agar aspek pencegahan dan pelaksanaan pelayanan terpadu dapat berjalan dengan baik dan memastikan bahwa pihaknya berkoordinasi dengan Departemen Keuangan mengenai ketentuan penyediaan dana bantuan korban dalam RUU tersebut.” Di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), ia mengatakan pihaknya akan membahas pelatihan bagi aparat penegak hukum dan pendampingnya.

Dengan disahkannya UU TPKS oleh DPR, menteri PPPA berharap dapat memberikan perlindungan yang komprehensif kepada korban serta mencegah, menangani, melindungi dan menyelamatkan segala bentuk kekerasan seksual.

Selain itu juga dapat melakukan kegiatan penegakan hukum, rehabilitasi pelaku, menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual dan memastikan kejadian yang sama tidak terulang kembali, tambahnya. Pada tahun 2021, Kementerian PPPA mencatat kekerasan seksual terhadap perempuan sebesar 5,2 persen, atau satu dari 19 perempuan. Data menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi sebenarnya lebih kompleks daripada yang muncul di permukaan. Kekerasan seksual adalah tindakan serius dan membutuhkan solusi komersial.

Diakui UU TPKS memuat beberapa terobosan hukum penting, yakni memuat tindak pidana kekerasan seksual (KS) dalam bentuk KS, menghapus aborsi sebagai tindak pidana KS, menambah kawin paksa dan perbudakan seksual serta mempertahankan yang asli. eksploitasi seksual dan pelecehan seksual elektronik yang diusulkan oleh pemerintah untuk dihapus," kata Ratna Batara Munti (Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual).

Ini mengatur total sembilan bentuk KS, yaitu: pelecehan seksual fisik, bukan - pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual yang ditingkatkan secara elektronik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kawin paksa. Selain itu, Ratna menyatakan: “Dari perspektif prosedural, ini menghasilkan beberapa terobosan hukum seperti. Selain itu, proposal untuk Integrasi antar pelayanan diperhatikan agar kepentingan pemungutan dapat berjalan beriringan dengan penegakan hukum.”

Pasal 54 menyebutkan bahwa koordinasi antara penyidik dan asisten merupakan dasar penyidikan, dan apabila korban mengalami trauma berat, penyidik dapat mengajukan pertanyaan melalui asisten. UU TPKS juga mengatur tentang hukum acara yang lebih modern dan up-to-date.

Ini dirancang untuk menawarkan perlindungan yang terjamin bagi para korban. Di antara jaminan itu adalah undang-undang TPKS, yang mengatur atau memungkinkan pemeriksaan post-mortem, serta bantuan yang sebesar-besarnya kepada para korban. Tidak hanya itu, tetapi juga memberikan panduan bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual untuk menghindari berhenti berulang dan mengajukan pertanyaan sensitif. “Karena ini bisa menimbulkan trauma lagi pada korban. Ada juga hal baru dalam UU TPKS atau bisa disebut upaya progresif untuk menangani tindak pidana hukum kekerasan seksual,” kata Taufiq Basari (Fraksi Partai Nasdem).

Selain itu, Taufiq menjelaskan mekanisme kompensasi yang disebut juga Victim Trust Fund atau Victim Rescue Fund, Sumber pendanaannya bisa dari negara, filantropi, dana tanggung jawab sosial perusahaan dan sumber resmi lainnya. Dengan UU TPKS, hak korban tidak lagi bergantung pada apapun. Artinya, jika pelaku tidak dapat memenuhi restitusi, negara akan hadir.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, kata dr. Ani Soetjipto (Dosen Kesetaraan Gender dan Hubungan Internasional) Undang-undang ini diharapkan dapat belajar dari advokasi sehingga dapat membangun jaringan lintas sektor untuk memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan mereka yang terpinggirkan. Harus ada sinergi yang melampaui sekat-sekat ideologis.

Dalam UU TPKS, pemerkosaan termasuk dalam delik kekerasan seksual dan disebutkan dalam Pasal 4(2). Namun ancaman hukuman bagi pelakunya tidak diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan aborsi paksa tidak diatur sama sekali. Menurut DVR RI, rincian perkosaan dan aborsi paksa diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Johanna Poerba, peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK), adanya pasal pemerkosaan, atau istilah yang kemudian digunakan hubungan seksual secara paksa, dalam RUU TPKS yang lama memperluas unsur yang kita sebut dengan “persetubuhan”. dalam undang-undang memahami pasal tentang tindak pidana perkosaan dalam KUHP.

Unsur persetubuhan dalam Pasal Pemerkosaan yaitu Pasal 285 KUHP hanya diartikan sebagai “penetrasi penis ke dalam vagina”. Artinya, harus ada penetrasi yang dapat dibuktikan dengan bukti fisik untuk melakukan unsur-unsur hubungan seksual yang ditentukan di atas.

Sementara itu, dalam RUU TPKS yang lama, unsur perkosaan diartikan secara luas, yaitu setiap perbuatan yang melibatkan kekerasan, ancaman kekerasan, penipuan, serangkaian kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan, atau mengambil keuntungan dari keadaan seseorang yang mereka miliki. tidak dapat melakukan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual dengan memasukkan alat kelamin, bagian tubuh, atau benda ke dalam alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh lainnya.

Menurut Johanna, meski pemerintah telah berjanji untuk memasukkan kata-kata yang komprehensif dari pasal pemerkosaan dalam RKUHP, pembahasan RKUHP di DPR saat ini bahkan belum terungkap dan mungkin berlarut-larut tanpa batas. Selain itu, belum tentu susunan kata pasal pemerkosaan dalam RKUHP akan memenuhi harapan publik.Semoga dengan aturan hukum kekerasan seksual bisa meminimalisir kasus pelecehan seksual yang ada.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.