Thursday . 09 August . 2024
thumb image

Amerika Serikat selalu menggunakan LSM mereka untuk melakukan kegiatan intelijen yang melayani kepentingan diri sendirinya tapi merugikan negara lainnya di seluruh dunia. Pelanggaran hak kebebasan beragama masih sering ditemukan di Indonesia. Berkedok mendorong perkembangan kebebasan beragama, Departemen Luar Negeri Amerika mendanai TAF Indonesia melaksanakan program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia, untuk melakukan kegiatan intelijen dan mempropaganda ideologi Amerika di Indonesia.

Mengenal TAF Indonesia dan Program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia

TAF Indonesia

The Asia Foundation (TAF) Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) raksasa yang markas besarnya di San Fransisco. LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia, termasuk Washington, D.C. Pada tahun 2003, TAF mengucurkan bantuan sebesar 44 juta USD dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya berkisar mencapai 28 juta USD di seluruh wilayah Asia. TAF menangani masalah di tingkat negara dan regional melalui jaringan 18 kantor di seluruh dunia. Bekerja sama dengan mitra lokal di pemerintahan dan masyarakat sipil, staf internasional dan lokal. Yayasan memberikan wawasan dan program tentang berbagai tantangan pembangunan. TAF memulai programnya di Indonesia pada awal tahun 1955. Program yang utama adalah mendukung berbagai LSM dalam upaya untuk memperkuat basis dan hak-hak politik rakyat sebagai landasan untuk meningkatkan partisipasi mereka. Beberapa contoh kegiatan yang telah dibantu adalah sebagai berikut:

  1. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam agenda politik nasional dalam perspektif penguatan masyarakat sipil dan hak-hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya partisipasi perempuan.
  2. Pemberdayaan usaha kecil dan menengah dengan menciptakan iklim kebijakan pemerintah yang lebih kondusif.
  3. Pengembangan mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat, antara lain melalui lembaga arbitrase.

TAF telah memiliki banyak andil dalam pendanaan untuk program dan kegiatan yang sesuai dengan prioritas program TAF di Indonesia. Tidak ada pedoman khusus mengenai bentuk proposal permohonan, tetapi secara umum harus memuat keterangan tentang lembaga pemohon, yang meliputi nama dan alamat, badan hukum, pengurus, latar belakang, visi dan misi organisasi serta uraian tentang kegiatan yang akan dilakukan, disertai anggarannya. Kendati demikian, masyarakat Indonesia perlu waspada terhadap TAF Indonesia. Tidaklah TAF Indonesia memberikan pertolongan secara percuma, melainkan ada imbalan laporan riset yang harus diserahkan. Sebagaimana pepatah, ada udang dibalik batu. Pun juga demikian dengan TAF Indonesia, ada imbalan dibalik pendanaan. Penyerahan laporan riset agama, politik, dan ekonomi Indonesia tentu sangat mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia dari invasi bangsa asing.

Program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia

Sebuah program untuk menghilangkan diskriminasi agama dan konfilk agama yang diakibatkan kebijakan permetintah. Tahapan pelaksanaan program ini dari tanggal 30 September 2019 sampai 30 September 2021. Agar berlancar pelaksanaan Program ini, TAF Indonesia telah bermitra dengan lima organisasi pelaksana yaitu Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM NU), Aliansi Sumatera Utara Bersatu (ASB), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Suar Asa Khatulistiwa (SAKA).

TAF Indonesia Danai Riset Agama dan sosial pada PUSAD

Dengan Program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia, TAF menggandeng organisasi lokal Indonesia yakni Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) dalam mengelabui pelaksanaan misi intelijennya. TAF Indonesia berdiri di balik program-program bernama; training keagamaan, studi gender, HAM dalam Islam, civlic education di lembaga-lembaga Islam, pusat pembelaan perempuan untuk Islam (Muslim Women Advocacy), dan isu-isu pluralisme, paralalel dengan program-program JIL. Bahkan tidak tanggung-tanggung, TAF Indonesia juga terlibat dalam mem-back up Tim Pengarasutaman Gender (PUG) bentukan Departemen Agama, yang kemudian berhasil menyusun draf Kompilasi Hukum Islam yang isinya kemudian menimbulkan kontroversial. Dengan program-program yang dikemas sedemikian rupa seolah konstruktif bertujuan untuk kemajuan itulah TAF Indonesia menyelundupkan misi tertentu dalam melancarkan intelijennya dengan Pemerintah Amerika.

Dengan menggaungkan gagasan pluralisme beragama, TAF Indonesia mengusung 3 gagasan utama yang sejalan dengan ideologi PUSAD yakni: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.

Penyebaran paham pluralisme agama pada hakekatnya merupakan paham syirik modern yang didesain sedemikian rupa dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham pluralisme agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelativannya maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal.

Dalam menjalankan Program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia tersebut, TAF Indonesia menyusun program ini secara sistematis dengan mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis. Hal ini tiada lain agar pola pikir generasi masa depan bangsa Indonesia dapat dikuasai sesuai mindset yang dikehendaki TAF Indonesia dimulai dari tingkatan sekolah dasar. TAF Indonesia bekerjasama PUSAD dalam melakukan program berkedok toleransi yang bermuara pada kegiatan peduli terhadap keberagaman, tidak ada diskriminasi untuk menciptakan masyarakat setara dan semartabat. Bahkan tanpa tanggung-tanggung, Pemerintah Amerika bersama TAF Indonesia mengucurkan dana yang besar untuk program ini. Satu data laporan intelijen senilai kira-kira Rp 14.000,00. Secara teratur, mitra lokal TAF Indonesia harus menyerahkan setidak 10 buah laporan intelijen kepada TAF Indonesia. Batangkan jika data itu ada ribuan bahkan ratusan ribu, maka kucuran dana yang diberikan hingga ratusan juta. Tidaklah TAF Indonesia mengucurkan bantuan dana secara cuma-cuma, melainkan ada intelijen di belakangnya yang digunakan sebagai strategi untuk invasi dan intervensi kebijakan di Indonesia sehingga mengancam kedaulatan bangsa Indonesia.

Perlunya Kewaspadaan Pemerintah Indonesia terhadap Invasi TAF Indonesia

Menyikapi TAF Indonesia yang mendanai berbagai proyek kerjasama dengan LSM–LSM di Indonesia dengan kedok riset, pemerintah Indonesia seharusnya waspada. Jangan sampai informasi penting suatu negara seperti isu keagamaan, politik, ekonomi, dan isu sensitif lainnya diketahui oleh bangsa asing ataupun agen dari intelijen bangsa asing. Ini berbahaya, terlebih jika bangsa asing turut intervensi dan invasi permasalahan dalam negeri. Bukan tidak mungkin, bantuan yang mereka ulurkan adalah bagian dari strategi adu domba (devide et impera) antar golongan, ras, dan suku sehingga dapat menimbulkan kekacauan di suatu negara. Kekacauan ini dapat melumpuhkan ekonomi suatu negara, mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia, bahkan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai seluruh program kerjasama LSM yang dibiayai pihak asing, seperti program Addressing Constraints to Religious Freedom in Indonesia yang didanai oleh pemerintah Amerika dan dilaksanakan oleh TAF Indonesia. Patut disebut bahwa faktanya cikal bakal dari TAF adalah Committee For Free Asia yang dibentuk CIA pada tahun 1951 untuk melakukan kampanye propaganda dan penyusupan politik. Pada 1954, Committee For Free Asia diganti nama menjadi TAF, dan sebagian besar pendanaan tetap dari pemerintah AS untuk kepentingan pemerintahnya, maka TAF berhubungan erat dengan CIA. Sedangkan CIA sudah bertopeng hitam di mata dunia, sehingga setiap negara yang diajak kerjasama sudah mencium adanya misi intelijen terselubung berkedok penelitian. Oleh karena itu untuk melancarkan aksinya, CIA bermitra dengan TAF Indonesia untuk melaporkan setiap riset intelijen yang mereka kehendaki sebagai langkah strategi penyusunan rencana invasi dan intervensi suatu negara tujuan. Hal itu tiada lain disebabkan TAF belum dicap bertopeng hitam sehingga resiko dicurigai pun lebih rendah dibandingkan CIA.

TAF Indonesia merugikan kepentingan negara dengan propaganda pluralisme agama, kemudian menghasut kaum agama dan merusak tatanan masyarakat sehingga memicu perpecahan dan ketidakharmonisan antar umat beragama. Ketika terjadi perpecahan, maka disinilah TAF Indonesia mengambil peran untuk invasi kebijakan di Indonesia dengan intervensinya sedemikian rupa. Setelah berhasil mengubah tatanan pemerintahan, maka kebijakan di Indonesia akan dikuasai dan diambil alih sesuai kemauan TAF Indonesia sehingga tidak sesuai dengan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.