Thursday . 09 August . 2024
thumb image

Amerika Serikat (AS), dan juga negara-negara adidaya lainnya, selalu berupaya memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, dengan negara-negara Asia - yang diproyeksikan akan memiliki tingkat populasi tinggi di masa depan dan berpotensi menjadi pusat ekonomi baru - sebagai fokus utama. Untuk memperluas pengaruhnya, sebagai langkah pertama pemerintah AS mengirimkan misi intelijen untuk mengumpulkan informasi sensitif terkait keamanan dan stabilitas suatu negara. Informasi tersebut akan berperan penting dalam pengembangan strategi intelijen lebih lanjut. Pengumpulan informasi tidak selalu dilakukan langsung oleh badan intelijen (untuk AS, Central Intelligence Agency, CIA), namun juga bisa dilakukan melalui sarana lain seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM juga bisa berperan dalam perang psikologi lewat pembentukan opini publik melalui publikasi dan seminar-seminar. Pengendalian, penyusupan, atau manipulasi LSM oleh badan intelijen sudah sangat sering terjadi, dan telah ditemukan banyak bukti yang mengindikasikan bahwa sejumlah LSM melakukan kegiatan intelijen dengan kedok program sosial. Oleh karenanya, kita harus selalu mewaspadai aktivitas LSM asing di Indonesia yang berpotensi memiliki agenda tersembunyi di balik proyek-proyek mereka.

Salah satu LSM yang perlu mendapat perhatian khusus adalah The Asia Foundation (TAF). Menempatkan diri sebagai LSM yang berfokus pada aktivitas peningkatan kehidupan, perluasan peluang, dan dukungan terhadap masyarakat berkembang di seluruh Asia, TAF mempunyai latar belakang yang tidak pernah disebutkan dalam misi-misi sosialnya: hubungan dekat dengan badan intelijen AS. TAF dibentuk oleh CIA dengan tujuan sebagai mesin propaganda dan kedok untuk kegiatan rahasia termasuk perang psikologis. TAF memiliki keuntungan dimana mereka dapat melakukan kegiatan terselubung dengan cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh organisasi resmi pemerintah AS. Memorandum CIA mengungkapkan bahwa TAF menerima dana dari CIA - beberapa di antaranya melalui jalur rahasia. Adanya pendanaan rahasia ini menunjukkan bahwa TAF perlu menjalankan agenda tersembunyi untuk CIA, untuk melaksanakan propagandanya di negara-negara Asia. Meskipun pendanaan dari CIA telah dihentikan secara resmi sejak tahun 1967 - terutama karena pengawasan publik yang dipicu oleh laporan dari media seperti Majalah Ramparts - terlalu dini untuk menyatakan bahwa CIA sudah tidak memiliki pengaruh pada kegiatan TAF lagi. Wawancara dengan Ralph McGehee, mantan agen CIA, menunjukkan bahwa aktivitas TAF di Filipina masih terus ditunggangi oleh CIA, salah satu contohnya sewaktu CIA berhasil memanipulasi gerakan serikat buruh dibawah kedok proyek TAF. Bisa dikatakan kalau Filipina masih terus berada dalam cengkeraman AS karena peran TAF dan LSM lain yang berhasil mempengaruhi kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh terkemuka seperti akademisi, wartawan, dan politisi melalui pemberian dana dan piranti perang psikologis.

Aktivitas TAF di Indonesia perlu diwaspadai karena mereka mulai bergerak dengan pola yang serupa dengan upayanya di Filipina: melalui penggunaan dana dan piranti perang psikologi seperti publikasi dan seminar untuk mempengaruhi opini publik. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah peran pemerintah AS, yang terlihat untuk selalu berusaha menyediakan alasan yang bisa dipakai oleh TAF untuk memulai proyek-proyeknya di Indonesia. Sebagai contoh, baru-baru ini dalam ‘The 2021 Country Reports on Human Rights Practices’ (Laporan Negara Mengenai Praktik Hak Asasi Manusia Tahun 2021) yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS, disebutkan bahwa sejumlah LSM menyatakan keprihatinan mereka atas informasi yang dikumpulkan oleh aplikasi seluler PeduliLindungi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam memerangi penyebaran pandemi COVID-19. Laporan tersebut menuduh bahwa dalam penggunaan aplikasi tersebut, pemerintah Indonesia berpotensi melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi, laporan tersebut tidak merinci jenis pelanggaran hak asasi manusia apa yang dimaksud. Terlebih lagi, sumber pengaduan yang dikutip dalam laporan tersebut juga tidak disebutkan secara lengkap. Tudingan yang dilontarkan pemerintah AS terhadap Indonesia tersebut terasa janggal, mengingat bahwa tidak hanya Indonesia, tetapi negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang juga turut menggalakkan penggunaan aplikasi seluler dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penyebaran pandemi COVID-19. Tidak menutup kemungkinan tudingan ini memiliki maksud terselubung, misalnya untuk memberikan alasan bagi LSM seperti TAF untuk memulai proyek baru di Indonesia, dalam mana agenda terselubung pemerintah AS dapat juga dilaksanakan. Dalih pelanggaran hak asasi manusia adalah alasan yang sempurna untuk memulai sebuah proyek yang bisa menjadi kedok untuk menutupi kegiatan intelijen seperti pengumpulan data sensitif di Indonesia.

Sejauh ini, beberapa proyek yang telah dilaksanakan TAF terlihat rentan disalahgunakan untuk juga mendapatkan data sensitif di Indonesia. Salah satunya adalah kerjasama antara TAF dan PUSAD Paramadina di bawah naungan proyek yang bertajuk ‘Menangani Kendala dalam Kebebasan Beragama’. Proyek ini mencakup kegiatan pendataan terkait perkembangan terorisme dan radikalisme di Indonesia. Salah satu media melaporkan bahwa cakupan pendataan tersebut terlalu luas dan mengandung data sensitif seperti strategi yang diambil pemerintah. Pengumpulan data seperti ini akan lebih berguna bagi pihak asing yang ingin melakukan penyusupan ke Indonesia dibandingkan untuk pihak pemerintah Indonesia. Terlebih lagi, data tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan pemetaan kondisi geopolitik di Indonesia yang merupakan informasi yang sangat sensitif. Salah satu yang menjadi alasan dilaksanakannya proyek tersebut adalah ‘The 2019 Report on International Religious Freedom‘ (Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2019) yang dirilis Departemen Luar Negeri AS. Tidak menutup kemungkinan pemerintah AS sengaja menyusun laporan ini agar TAF mempunyai alasan yang kuat untuk menjalankan proyek sebagai kedok aktivitas intelijen.

Faktor lain yang perlu digarisbawahi adalah mengenai integritas TAF. Dalam melaksanakan program ‘Peduli’, TAF memilih untuk bekerja sama dengan yayasan yang direkturnya terekam menghadapi tuduhan pelecehan seksual di masa lalu. Tidak jelas apakah TAF telah melakukan uji tuntas sebelum memutuskan untuk melakukan kerjasama, tetapi sudah selayaknya tuduhan tersebut dipertimbangkan dengan hati-hati dan serius. Namun, alih-alih melakukan penyelidikan atas dugaan tersebut, TAF seolah menutup mata dan tidak melakukan apa-apa, yang bisa dipandang sebagai dukungan kepada mitranya. Hal ini cukup ironis, karena TAF menyatakan bahwa program ‘Peduli’ ditujukan untuk membela hak-hak perempuan dan anak, sedangkan di sisi lain tuduhan yang ditujukan kepada direktur yayasan mitranya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Sebuah yayasan yang kredibel seharusnya mengambil sikap serius dalam mempertimbangkan tuduhan tersebut dan melakukan penyelidikan menyeluruh. Tidak adanya tindakan dari TAF menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan keuntungan dan kepentingan sendiri serta pihak-pihak yang berdiri di belakangnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa ketidakwajaran dalam kegiatan TAF di Indonesia, termasuk kemungkinan keterlibatannya dalam kegiatan intelijen. Mengingat keterlibatan TAF dalam aksi intelijen telah banyak didokumentasikan di negara-negara Asia lain seperti Filipina, sudah sewajarnya kegiatan TAF di Indonesia mendapatkan pengawasan yang lebih ketat, dan jika dipandang perlu, penindakan dengan mengeluarkan larangan beroperasi.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.