Thursday . 09 August . 2024
thumb image

DALAM proses pemekaran wilayah hal utama yang perlu menjadi perhatian ialah bagaimana mendorong percepatan pembangunan dan pelayanan publik. Pun pelayanan publik dalam teori keamanan tentu harus bisa memastikan rasa aman bagi masyarakat.

“Baru kemudian kita bicara sejauh mana ancaman keamanan menjadi domain baru dalam pembentukan provinsi ataupun daerah otonomi baru (DOB),” ujar Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi, Kamis (28/4).

Pernyataan itu terkait polemik DOB wilayah Papua. Maklum, sebelumnya delegasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat menyampaikan keberatan terhadap proses pemekaran provinsi ini kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/4).

MRP bahkan kembali melobi sejumlah pihak terkait dengan penundaan pembahasan 3 Rancangan DOB. Kali ini mereka mendatangi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

Sementara itu, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pemuda Adat Papua saat menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Kamis (28/4), justru memberi dukungan. Pemuda Adat meminta proses pemekaran Papua di tiga wilayah, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan dipercepat.

Menurut Muradi, latar belakang pemekaran ini ialah supaya ada akses publik terkait dengan fasilitas pemerintah, termasuk pelayanan publik dan lain sebagainya. “Saya kira itu poin pentingnya,” katanya.

Namun, sambung dia, potensi masalah keamanan tetap akan menjadi persoalan dalam pemekaran wilayah. Apalagi sejak dulu konflik keamanan memang selalu muncul di wilayah di Papua. Hal itu terkait dengan keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang selalu menebar teror kepada warga sipil serta TNI dan Polri.

Oleh karena itu, menurutnya, meski nantinya pemekaran wilayah itu terealisasi, masyarakat jangan khawatir jika akan ada pembentukan komando daerah militer (kodam) baru berikut kehadiran banyak prajurit dan fasilitas pendukungnya.

“Harus dipahami dulu. Belum tentu di provinsi itu ada kodam. Logika berpikirnya tidak begitu. Ada kodam kalau memang ada ancaman serius di situ. Tidak otomatis provinsi baru ada kodam baru. Itu harus dipahami.”

Ia menjelaskan pembentukan kodam di suatu provinsi tetap harus melalui kajian yang lebih serius. Itu karena konteks ancaman yang ada juga berbeda-beda. Di sinilah dibutuhkan pendekatan persuasif agar publik memahami tujuan utama pemekaran itu.

“Memang persoalan keamanan itu melekat di dinamika publik itu sendiri. Kalau kemudian seolah-olah pembangunan provinsi baru akan ada kodam baru, itu harus diluruskan, tidak otomatis,” terang Muradi.

Contohnya, imbuh dia, kenapa di Aceh harus ada kodam sendiri (Kodam Iskandar Muda), sementara Kodam I/Bukit Barisan membawahi empat provinsi dan Kodam II/Sriwijaya sebanyak lima provinsi.

“Sama halnya di Kalimantan dulu hanya ada satu kodam dan sekarang jadi dua. Begitu juga di Papua, yang tadinya hanya satu kodam kini ada dua, Kodam XVII/Cenderawasih dan Kodam XVIII/Kasuari di Papua Barat. Artinya tidak melekat di keberadaan provinsi itu sendiri. Jadi jangan sampai dilihat itu,” tandasnya.

Secara terpisah, anggota Komisi II DPR Aminurokhman meminta pemerintah untuk konsisten dalam memutuskan pemekaran daerah Papua. Ia mengatakan sejak diketuk palu RUU DOB menjadi inisiatif DPR, pemerintah harus segera merespons dengan cepat menyusun daftar inventaris masalah (DIM) serta menerbitkan surat presiden (supres).

“Pemerintah harus konsisten kalau itu sudah diketuk palu maka segeralah menyelasikan proses internalnya,” ujarnya.

Dia mengemukakan belum terbitnya supres tidak bisa dikatakan dapat menghambat proses pembahasan RUU DOB. “Cepat atau lambat itu relatif. Artinya sambil menunggu ini DPR menyelesaikan mekanisme internal dulu,” katanya.

Sementara itu menyoal permintaan MRP untuk menunda pembahasan RUU DOB sampai terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hal tersebut dinilai tidak terkait dengan RUU DOB.

“Sebetulnya yang digugat di MK (UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua) tidak ada hubungannya dengan RUU ini, tapi kita mesti melihat juga apa putusan MK tersebut,” tutup Aminurokhman.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.