Thursday . 09 August . 2024
thumb image

Konflik AS – Taliban di Afghanistan telah menjadi konflik global yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kekejaman Taliban ini pun memakan korban baik korban psikis dan mental, korban luka, maupun korban jiwa. Bagaimana perang itu disinyalir bisa terjadi? Siapakah dalang dibalik terjadinya krisis kemanusiaan di Afghanistan yang menyebabkan pertumpahan darah? Apa keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam konflik tersebut? Bagaimakah peran G7 dalam menangani kasus perang saudara oleh Taliban di Afghanistan?

SEJARAH PERANG AFGHANISTAN TERJADI

Pada 11 September 2011, kelompok Al Qaidah yang dipimpin oleh Usamah bin Ladin menyerang AS. Serangan Al Qaidah dibawah pimpinan Usamah Bin Ladin ke AS ini menewaskan lebih dari 3.000 orang. Setelah melakukan penyerangan, Usamah Bin Ladin berada di Afghanistan, di bawah perlindungan Taliban, kelompok Islamis yang berkuasa sejak 1996. Atas peristiwa serangan itu, Presiden George W Bush mengumumkan pasukan AS melancarkan serangan terhadap kelompok teroris dan Taliban di Afghanistan. Serangan terukur dan terkendali AS ini dirancang untuk menghalangi Afghanistan menjadi basis operasi teroris dan untuk menyerang kemampuan militer rezim Taliban.

Presiden George W Bush meminta Taliban untuk menyerahkan Usamah bin Ladin pada AS karena telah menyerang maskas AS yang berlokasi di Afghanistan. Namun permintaan itu ditolak Taliban. Sebagai akibatnya, Presiden George W Bush pun menyeret Taliban sebagai pelindung dari Usamah bin Ladin ke Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Pada Desember 2001, Usamah Bin Ladin dan sejumlah pemimpin Al Qaidah melarikan diri ke Pakistan, negara sekutu AS. Pasukan AS tidak memburu mereka dan Pakistan menjadi lokasi perlindungan bagi para pemimpin Taliban. Pada Desember 2002, juru bicara Taliban menawarkan tindakan menyerah pada AS, namun ditolak oleh AS. Akhirnya AS sepakat dengan Taliban untuk melakukan gencatan senjata dan bernegosiasi untuk peralihan kekuasaan politik dengan pemerintahan Afghanistan yang didukung AS.

Dalam hal ini, pasukan NATO bergabung dengan AS dan pemerintahan Afghanistan yang baru terbentuk pada 2004 tapi serangan Taliban tak pernah surut. Meski demikian, AS dan NATO memiliki visi untuk membangun negara Afghanistan dengan gaya demokrasi barat. Tentu saja untuk mencapai visi tersebut, upaya ini pun menghabiskan miliaran dolar untuk membangun negara miskin yang dilanda perang selama dua dasawarsa. Sekolah, rumah sakit, fasilitas publik dibangun. Ribuan perempuan yang dilarang sekolah di masa Taliban berkuasa, akhirnya bisa sekolah. Perempuan akhirnya bisa kuliah, bekerja, dan menjadi anggota parlemen dan pejabat pemerintah. Media independen bermunculan. Sayangnya, korupsi juga merajalela. Dana ratusan juta dolar untuk pembangunan dan investasi diselewengkan. Pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.

Pada pertengahan 2010, Presiden Barack Obama menambah pasukan tentara AS hingga hampir 100.000 yang bercokol di Afghanistan. Pada Mei 2011, pasukan elit Angkatan Laut AS membunuh Usamah Bin Ladin di persembunyiannya di Abbottabad, Pakistan yang merupakan tempat Usamah tinggal hampir setahun lamanya di dekat lokasi pelatihan militer Pakistan. Pada Juni 2011, Presiden Obama berjanji akan mulai menarik mundur pasukan AS dan menyerahkan tanggung jawab keamanan kepada orang Afghanistan pada 2014.

Pada 2014, Pentagon menyimpulkan bahwa perang Taliban - AS tidak bisa dimenangkan secara militer dan hanya perundingan damai yang bisa mengakhiri konflik tersebut. Pasukan internasional NATO mengakhiri misi mereka, meninggalkan Afghanistan dan menyerahkan kembali ke tangan militer Afghanistan. Sepakat dengan NATO, Presiden Obama pun mengakhiri operasi perang utama yang tertahan pada 31 Desember 2014. Presiden Obama beralih melatih dan membantu pasukan keamanan Afghanistan. Pada saat itulah, Taliban mendapat kesempatan dan berhasil merebut banyak wilayah di Afghanistan.

Pada masa pemerintahan selanjutnya AS, Presiden Donald Trump mengatakan meski dari awal dia berniat menarik mundur semua pasukan AS, dia menekankan segala penarikan mundur akan bergantung pada kondisi di lapangan, bukan kerangka waktu. Pemerintahan Trump mulai berdialog dengan Taliban sejak 2018 tanpa melibatkan pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Presiden Ashraf Ghani. Perundingan damai antara AS dan Taliban sudah beberapa kali terjadi dan kesepakatan penarikan mundur pasukan AS bermula dari perundingan di Qatar pada Februari 2020.

Kesepakatan itu berisi pasukan AS harus meninggalkan Afghanistan pada 1 Mei 2021. Sebagai imbalannya Taliban berjanji akan memutus hubungan dengan kelompok teroris seperti Al Qaidah dan ISIS cabang Afghanistan, mengurangi kekerasan dan bernegosiasi dengan pemerintahan Afghanistan yang didukung AS. Namun kesepakatan itu tidak menyinggung konsekuensi jika Taliban tidak memenuhi janjinya. Kesepakatan AS Taliban ini tidak menghentikan serangan Taliban, mereka kemudian beralih melancarkan serangan ke pasukan Afghanistan dan warga sipil. Wilayah kekuasaan Taliban semakin luas.

Penelitian oleh Universitas Brown memperkirakan korban jiwa di pihak pasukan Afghanistan mencapai 69.000 jiwa. Dan warga sipil serta militan yang tewas masing-masing mencapai 51.000 jiwa. Sejak 2001, lebih dari 3.500 tentara koalisi tewas, sekitar dua pertiganya pasukan AS. Lebih dari 20.000 tentara AS luka. Menurut PBB, Afghanistan menjadi negara ketiga terbesar di dunia yang warganya mengungsi. Pasukan AS dan koalisi yang tewas mencapai 3.586. Polisi dan militer Afghanistan yang tewas 75.971. Warga sipil (termasuk pekerja kemanusiaan, jurnalis, kontraktor) 78.314. Pasukan oposisi, termasuk Taliban 84.191 jiwa. Sejak 2021, sekitar lima juta penduduk Afghanistan mengungsi dan tidak bisa kembali.

KEKEJAMAN TALIBAN SAAT BERKUASA

Ketika Afghanistan dibawah naungan kekuasaan Taliban, banyak kasus kekejaman yang tidak berperikemanusiaan terjadi, terutama terhadap perempuan. Kekejaman Taliban diantaranya:

  1. Perempuan dilarang sekolah dan berkarir Ketika perempuan lain di seluruh dunia merayakan kemajuan dan keberhasilan mencapai cita-cita mereka, perempuan di Afghanistan justru mengalami kemunduran dengan dikurung di rumah oleh Taliban. Taliban melarang perempuan untuk bersekolah, bekerja dan meniti karir, bepergian tanpa wali pria, hingga mewajibkan wanita menggunakan pakaian burkak. Setiap hari masyarakat dihantui ketakutan yang luar biasa dimana ketika mereka siap keluar rumah berarti siap meregang nyawa. Padahal mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan makan untuk keberlangsungan hidup. Berdasarkan penuturan salah seorang perempuan Afghanistan yang mengungsi di Indonesia mengatakan bahwa Taliban pernah menembak seorang perempuan yang tidak bersalah di depan ratusan orang tanpa kejahatan, yang baru saja keluar dari rumah untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan ini menimbulkan trauma serta tekanan mental bagi perempuan-perempuan lainnya di Afghanistan.
  2. Kekhawatiran dan Ancaman Dibunuh Kekejaman Taliban saat berkuasa membuat masyarakat Afghanistan mengalami tekanan mental, ketakutan, hingga trauma jika sewaktu-waktu mereka dibunuh oleh Taliban. Janji Taliban untuk membawa misi perdamaian hanyalah isapan jempol. Mereka menerapkan sistem radikal yang penuh dengan kekerasan. Setiap kemauan dan peraturan yang diberikan Taliban harus dituruti dan dilakukan, jika tidak maka nyawa menjadi taruhan. Taliban masih membunuh perempuan, laki-laki, anak-anak di Afghanistan. Bahkan Taliban juga menembak mati 3 pemuda yang mengibarkan bendera Afghanistan di negaranya sendiri. Sejak Taliban berkuasa, Taliban banyak mencopot bendera Afghanistan dan menggantinya dengan bendera hitam putih milik Taliban. Sebagai dampaknya, masyarakat Afghanistan hidup dibawah bayang-bayang rasa takut di negara sendiri, ancaman dibunuh, dan tekanan mental dengan trauma yang mendalam.

PERAN G7 UNTUK MENDAMAIAN KONFLIK DI AFGHANISTAN

G7 adalah kelompok negara-negara besar dan kaya yang dibentuk pada tahun 1975. Negara-negara anggota G7, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Para pemimpin negara-negara tersebut bertemu secara teratur untuk membahas nilai dan tujuan bersama, di mana acara utama G7 dikenal sebagai KTT G7. G7 awalnya didirikan untuk memimpin demokrasi industri dalam membahas ekonomi global. Namun dalam perkembangannya G7 memperluas cakupannya ke isu-isu seperti perdamaian dan keamanan, perubahan iklim, serta pandemi global seperti pandemi virus corona saat ini.

Menyikapi isu krisis kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan dibawah kekuasaan Taliban, sebagai tugas moral maka G7 pun turut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa membantu dan memberikan dukungan sebanyak mungkin pada rakyat Afghanistan merupakan tugas moral. Von der Leyen menambahkan bahwa permasalahan di Afghanistan merupakan masalah kerja sama global dan harus ditangani sejak awal. Rakyat Afghanistan tidak boleh jatuh ke tangan penyelundup, mereka membutuhkan jalur yang aman.

Para pemimpin negara G7 juga menyatakan bahwa mereka turut dalam keprihatinan besar tentang situasi di Afghanistan. Prioritas langsung G7 adalah untuk memastikan evakuasi yang aman bagi warga G7 dan orang-orang Afghanistan yang telah bermitra dengan G7 serta membantu untuk memastikan perjalanan evakuasi yang aman dari Afghanistan. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan darurat virtual, para pemimpin negara G7 menyerukan untuk tetap tenang dan menahan diri guna memastikan keselamatan dan keamanan warga Afghanistan serta komunitas internasional yang rentan, dan pencegahan krisis kemanusiaan.

DUKUNGAN AS AGAR G7 BERIKAN SANKSI PADA TALIBAN

Amerika Serikat (AS) telah menarik total pasukannya dari Afghanistan. Kini, Washington mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Taliban, sang penguasa baru Afghanistan. Sebagai bagian dari anggota G7, Amerika Serikat (AS) mendukung G7 untuk menjatuhkan hukuman pada Taliban dengan menutup akses keuangan dari bank sentral ke Taliban sehingga Taliban mengalami krisis uang tunai.

Sebagai dampak atas sanksi G7, Taliban mengalami kekurangan akses miliaran dollar dari bank sentral dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dapat menghambat perekonomian negara itu selama pergolakan yang bergejolak. Perlu diketahui bahwa Dana Moneter Internasional sebagian besar dikendalikan oleh AS dan lembaga internasional. Sanksi internasional yang diberikan G7 pada Taliban diharapkan mampu menekan Taliban sehingga menghentikan kekejamann dan penindasan yang dilakukan pada rakyat Afghanistan.

Selain itu, Para pemimpin G-7 secara terpadu akan memberikan pengakuan, atau menjatuhkan sanksi baru, guna mendorong Taliban mematuhi janji untuk menghormati hakhak perempuan dan hubungan internasional. Pada perjanjian 2020 yang ditandatangani oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, secara eksplisit menyatakan bahwa kelompok Taliban tidak diakui oleh Amerika Serikat sebagai sebuah (pemerintahan) negara. Pengakuan adalah suatu tindakan politik yang diambil oleh negaranegara berdaulat dengan konsekuensi penting, termasuk memungkinkan Taliban mendapat bantuan asing. Ketika sebuah negara berdiri tanpa pengakuan negara lain, maka ia akan mengalami kesulitan dalam kerjasama internasional dan memperoleh bantuan asing.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.