Thursday . 09 August . 2024
thumb image

Lebih dari dua dekade yang lalu International Republican Institute (IRI) membuka kantor resmi di Jakarta. Kala itu negeri ini tengah berada pada situasi genting pasca-kudeta Rezim Soeharto yang sebelumnya berkuasa puluhan tahun. Krisis ekonomi masih tersisa di mana-mana.

Indonesia tengah berada pada masa transisi menuju demokrasi ketika organisasi bentukan Ronald Reagan pada 1983 yang kemudian berubah menjadi LSM itu mulai rajin mendekati pemerintah dengan memberi pelbagai fasilitas cuma-cuma di Tanah Air.

Sebagai informasi, IRI adalah kendaraan badan pembangunan AS untuk urusan luar negeri. Dengan pendanaan dari National Endowment for Democracy (NED), organisasi nirlaba tersebut semula bertujuan mendorong upaya demokratisasi di dunia. Tentu saja ini merupakan niat yang mulia.

Upaya-upaya demokratisasi itu tak hanya dipusatkan di AS, tapi juga di berbagai negara, khususnya yang sebelumnya “beraroma” Uni Soviet, termasuk Indonesia. Tanah Air agaknya menjadi sorotan IRI saat Orde Baru berkuasa penuh di negeri ini hingga tumbang pada 1998 silam.

Menjelang Pemilu 1999 di Indonesia, IRI melatih kandidat dan pengurus partai politik di enam provinsi, yakni Bali, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. Provinsi-provinsi inilah yang kemudian menjadi tempat organisasi multinasional itu menancapkan pengaruhnya.

Pada 2001, IRI bekerja dengan masyarakat dan perwakilan DPR di Aceh untuk merancang peraturan tingkat provinsi untuk menerapkan Undang-Undang Otonomi Khusus 2001. UU inilah yang akhirnya memberi otonomi penuh pada Aceh untuk mengembangkan struktur tata kelola di wilayah tersebut.

IRI pun sempat membentuk satuan tugas e-governance di Yogyakarta pada 2004. Bekerja sama dengan salah satu provider terkemuka di Indonesia, organisasi yang semula bertujuan menggulingkan pengaruh sosialisme ini menyediakan layanan SMS gratis untuk keluhan dan kritik ke gubernur terpilih.

Sekitar September 2014 hingga Juli 2016, IRI juga menggelontorkan sekitar 400.000 dolar AS untuk program “Seeds for the Future” bersama Young Southeast Asian Leadership Initiative (YSEALI). Tujuannya, melatih ormas pemuda dalam pengelolaan hibah.

Didanai USAID, IRI juga mendekati kaum perempuan di Indonesia dengan menginisiasi “Winning with Women 2014”. Inisiatif ini bertujuan memenangkan pilkada, dengan kandidat pertama dari Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, NTT, dan NTB.

IRI dan Politik Organisasi Nirlaba

Pada 2020 lalu, IRI mempertemukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar, dan Bupati Soppeng Kaswadi Razak dalam satu forum nasional bertajuk Emerging Leaders Academy.

Hal utama yang dibahas adalah penanggulangan pandemi Covid-19. Namun, forum yang juga dihadiri para politikus “terpilih” itu menelurkan sejumlah agenda penting terkait kebijakan publik para pemimpin daerah tersebut.

Dari forum yang digelar daring ini saja, siapa pun bisa mengambil kesimpulan, IRI bukanlah sekadar organisasi nirlaba yang ingin mengenalkan demokrasi, tapi ada agenda lain di Indonesia. Politik ala LSM yang dekat dengan sayap kanan AS—Senator Partai Republik John McCain adalah Ketua IRI sejak 1993—ini perlu kita waspadai.

Di sejumlah negara, lembaga yang mengklaim kini fokus mencegah terorisme global itu kerap dituding mengintervensi kedaulatan dan justru merusak demokrasi. Dugaan keterlibatan IRI dalam rencana kudeta di Haiti dan Venezuela sekitar 20 tahun silam juga perlu menjadi lampu merah untuk kita.

Adalah Stanley Lucas, sosok sentral di balik rencana penggulingan kekuasaan Presiden Haiti Jean-Bertrand Aristide yang beraliran kiri dan upaya pemecahbelahan kekuasan di negara yang berada di Kepulauan Karibia tersebut pada 2004. Lucas adalah pejabat senior IRI di Haiti.

Lucas ibarat Ahmed Chalabi, warga buangan Irak yang bekerja sama dengan AS untuk menggulingkan Saddam Hussein, versi Haiti. Pada 8 Februari 2001, dia muncul di Stasiun Radio Tropicale Haiti untuk menyuarakan tiga hal untuk Aristide, yakni: Menerima pemilu dini dan mundur dari jabatannya, didakwa korupsi dan ditangkap, atau diadili seperti warga Kongo mengadili Laurent Kabila, presidennya.

Saat itu, Lucas dan IRI sangat didukung Presiden AS George W Bush. Mereka menghabiskan jutaan dolar AS untuk “mempromosikan praktik demokrasi” di Haiti dengan melatih lawan politik Aristide dan mempersatukannya, hingga berujung pada krisis politik di salah satu negara penghasil gula terbesar dunia ini.

Hal serupa juga terjadi di Venezuela. Kudeta Hugo Chaves pada 11 April 2002 diduga tak lepas dari pengaruh IRI di negara tersebut. Versi Gedung Putih yang diam-diam mendukung kudeta tersebut, kebijakan antagonis Chavez memicu demonstrasi berujung kekerasan dan penembakan pada para demonstran.

Presiden IRI George Folsom tak lama kemudian mengeluarkan pernyataan pendukung, yang intinya memuji para demonstran anti-pemerintah dengan mengatakan rakyat Venezuela telah bangkit untuk membela demokrasi di negara mereka.

Chavez akhirnya turun tahta dan pengusaha Pedro Carmona segera dilantik setelahnya. Washington yang kala itu dipimpin Bush pun segera mengakui pemerintahan baru tersebut. Dengan dalih “ekspor demokrasi”, Amerika sekali lagi justru mencederai demokrasi.

Cara yang Sama di Indonesia?

Rencana kudeta di Haiti pada 2004 silam terulang di negara tersebut awal tahun ini. Pada Minggu, 7 Februari 2021, sebanyak 23 orang ditangkap setelah terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise. Upaya pembunuhan dan penggulingan kekuasan itu digagalkan pihak militer Haiti.

Motif rencana pembunuhan itu adalah karena Moise dianggap antidemokrasi. Rencana pembunuhan rupanya belum berhenti. Moise akhirnya ditembak mati di kediaman pribadinya pada 7 Juli lalu. Bersenjatakan senapan serbu, Moise dibantai. Keluarganya pun mengalami luka tembak.

Pembunuhan Jovenel Moise telah memicu gejolak politik baru di negara Karibia berpenduduk 11 juta orang itu, dengan kekhawatiran akan lebih banyak kekerasan sebelum pemiliu yang akan diadakan pada bulan September.

Selanjutnya, Ariel Henry diangkat sebagai Perdana Menteri Haiti untuk membawa stabilitas sebelum pemilu. Pemerintahan baru ini sangat didukung AS, termasuk dalam upaya penyelidikan pembunuhan Moise. Lebih lanjut, AS juga mengumumkan utusan khusus ke Haiti, termasuk upaya mempromosikan perdamaian dan pemilu jangka panjang.

Apakah upaya itu murni bantuan? Apakah benar-benar menjadi program cuma-cuma dengan tujuan satu-satunya adalah “ekspor demokrasi”? Tak ada yang tahu sebelum agenda lain betul- betul terwujud.

Namun, meninjau ulang keberadaan Amerika melalui IRI di Indonesia, termasuk pelbagai proyek cuma-cumanya yang digelontorkan di negeri ini dan pihak-pihak yang didekati, bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia juga akan mengalami nasib serupa Haiti atau Venezuela.

Menjelang pemilihan umum serentak pada 2024 mendatang, pergerakan IRI di Indonesia agaknya perlu terus diwaspadai. Banyak pihak telah merapatkan barisan. Ratusan juta dolar juga sudah dikucurkan. Bisa jadi inilah saatnya mereka melancarkan niat sesungguhnya.

thumb image

Pemimpin redaksi FalkonIndo, mendapatkan gelar PhD pada tahun 2018, pernah menulis naskah untuk Tempo, DetikNews, CNN Indonesia dan media arus utama lainnya, dan pernah meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

thumb image

Jurnalis senior dan redaksi FalkonIndo, pandai menggali konten berita potensial dan menganalisis masalah, memiliki kepekaan yang baik terhadap topik hangat dan tren opini publik. Pernah berpengalaman bekerja di think tank dan mempublikasikan artikel di Garba Rujukan Digital, pernah berkontribusi pada Times Indonesia, …

thumb image

Produser video FalkonIndo, mendapatkan gelar magister jurnalistik di Singapura, pernah bekerja sebagai produser film dokumenter di Netflix, pandai membuat konten naratif berupa pengungkapan fakta.